Aku bekerja di Perusahaan BUMN yang berkantor di sekitar Jalan Sudirman Jakarta dan tinggal di kompleks perumahan sekitar Bekasi. Gajiku hanya pas-pasan untuk menghidupi seorang Istri dan dua anak yang masih Balita dan untuk meringankan biaya bensin dan tol dari kendaraan Kijang pribadiku setiap harinya, maka aku mengajak beberapa orang yang biasa menunggu kendaraan umum di sekitar Bekasi dan yang kantornya di sekitar kantorku. Mereka tidak keberatan untuk membayar Rp 2,000,-per tripnya.
Pertama-tama agak sulit mencari penumpang yang kantornya berdekatan dengan kantorku, tapi sudah hampir sebulan ini, orang yang ikut di kendaraanku selalu sama yaitu 2 laki-laki dan 2 wanita yang kutaksir rata-rata berumur seusiaku yaitu antara 25-35 tahun serta katanya sudah berkeluarga semua dan semuanya bekerja di perusahaan yang berlainan, tetapi kantornya hanya berjarak 1 atau 2 gedung dari kantorku. Karena berangkatnya kira-kira jam 06.00 pagi, maka mereka rata-rata selalu tertidur apabila sudah ada di dalam kendaraanku. Demikian pula kalau pulang kantor kira-kira jam 18.00, sehingga kami berlima tidak saling mengenal lebih jauh kecuali nama panggilan mereka (di sini nama samaran) yaitu Andoyo, Agus, Tyas dan Dhea. Tyas bodynya kecil mungil tetapi berwajah manis, bermata sayu dan pendiam sedangkan Dhea tingginya sekitar 160 cm, ukuran dadanya cukup besar dan banyak bicara, katanya dia keturunan Padang Jawa dan sudah mempunyai anak 2 orang. Tyas mengaku berasal dari kota Malang dan sudah punya anak satu yang berumur 3 tahun dan suaminya kerja di perusahaan pelayaran dan berkantor di sekitar Tanjung Priok.
Data yang agak detail tentang Tyas ini kudapatkan karena dia selalu menjadi orang pertama yang naik di mobil Kijangku dan selalu memilih duduk di kursi depan di sampingku. Kepingin rasanya aku mengajak ngobrol lebih jauh tetapi tidak pernah kesampaian karena penumpang lainnya sudah keburu naik, jadi agak malu juga kalau mau bertanya soal pribadi.
Kejadian ini terjadi di bulan Nopember 1998 saat ramai-ramainya Mahasiswa berdemonstrasi. Di sekitar kantorkupun sudah dipenuhi oleh para demonstran baik yang memakai jaket mahasiswa maupun orang yang tidak memakai atribut apapun. Karena sudah jam 18.00 dan punya tanggungan untuk mengangkut pulang ke 4 orang penumpang setiaku yang biasanya menunggu di tikungan jalan yang kulalui, lalu aku nekat keluar dari gedung walaupun banyak teman-temanku yang menasehati dan bahkan melarang agar aku jangan meninggalkan gedung dengan kendaraan di situasi yang sedang semrawut ini.
Belum jauh aku meninggalkan gedung lewat jalur lambat yang penuh dipadati oleh para demonstran, kaca jendela kiri Kijang-ku terasa dipukuli tangan agak keras, tadinya kubiarkan saja karena pikirku pasti tangan-tangan jahil para demonstran. Tetapi setelah kulihat sekilas, ternyata yang memukul jendela tadi adalah Tyas yang kelihatan berwajah lusuh dan sangat ketakutan. Segera kubuka pintu depan mobilku dan segera Tyas masuk mobil dan segera mengunci pintunya sambil berkata gemetaran dan penuh ketakutan.
"Maas..., cepat deh..., cari jalan yang sepi dan cepat keluar dari daerah sini..., bisa bisa kita mati ketakutan..., tadi aku lihat tentara dan orang-orang sudah bentrok dan pukul-pukulan serta lempar-lemparan batu.
Aku yang sudah takut karena mobilku sudah dipukul-pukul oleh tangan-tangan jahil para denmonstran, menjadi tambah ngeri mendengar cerita Tyas ini, tetapi melihat baju Tyas yang basah kuyup itu, masih sempat kutanya, "Tyaas..., kenapa bajunya kok basah kuyup?".
Dia menjawab, "Waktu keluar dari gedung kantornya, tersemprot air yang disiramkan oleh mobil tentara untuk mengusir para demonstran".
Aku sudah tidak peduli lagi dengan ke 3 orang penumpang setiaku yang belum kelihatan ketika mobilku sampai di tikungan tempat biasa mereka menunggu, aku hanya berusaha menjalankan mobil secara pelan di tengah kerumunan orang ramai untuk mencari jalan kecil atau jalan yang sepi, yang penting keluar dari jalan Sudirman dan ketika sampai di jalan keluar dari Jalan Sudirman, ternyata jalan yang agak kecil inipun tidak kalah ramainya dengan yang di jalan Sudirman, jalan ini dijadikan tempat lari dan berlindung orang-orang yang sedang di kejar-kejar tentara dan polisi.
Untungnya tidak jauh setelah mobilku berjalan merayap lambat, kulihat ada gedung yang pintu pagarnya masih terbuka dan penuh dengan mobil-mobil yang diparkir lebih dulu untuk berlindung di situ, lalu segera saja kumasukkan dan kuparkir mobilku dengan susah payah di halaman gedung itu dan kulihat jamku telah menunjukkan jam 19.00 malam.
Kulihat Tyas duduk diam gelisah dan kelihatan masih ketakutan serta badannya sedikit menggigil mungkin kedinginan karena bajunya yang basah itu dan setelah mobil kuparkir, tiba-tiba saja Tyas menangis dan memelukku sambil berkata, "Bagaimana kita..., Maas, kita bisa pulang apa tidak?, saya..., takuuut Maas".
Aku sendiri masih merasa ngeri akibat menjalankan kendaraan di tengah kerumunan para demonstran yang terlihat sedang beringas itu, tetapi kucoba menenangkannya dengan mengelus-elus pundaknya sambil kukatakan, "Tenaang..., tenaang.., saja Tyas, mudah-mudahan di sini kita aman dan nggak ada apa-apa".
Setelah beberapa saat dan mungkin Tyas sudah sadar, tiba-tiba melepas pelukannya, "aah..., maaf..., yaa.., Maas, habis saya takut sekali", katanya lirih.
"aah..., nggak pa-pa kook..., Tyaas", jawabku sambil kuelus-eluskan punggung tangan kiriku di pipinya.
Sudah satu jam lebih aku parkir di gedung ini, bisa dibayangkan bagaimana kesalnya kalau sedang menunggu tapi tidak tahu apa yang sedang ditunggu, dan situasinya bukan semakin sepi tetapi semakin ramai dan semrawut, petugas keamanan dan orang-orang saling kejar-kejaran dan lempar-lemparan, sehingga membuat Tyas semakin bertambah ketakutan.
"Maas..., gimana..., dooong..., apa kita mau di sini teruuus?, Saya sudah kedinginan, bisa-bisa masuk angin nanti", kata Tyas sambil mendekapkan kedua tangannya di dadanya. Karena keadaan seperti ini, membuatku jadi kehilangan akal dan kujawab pertanyaan Tyas sekenanya, "Yaa..., habis mau gimana lagi..., tyaas?, Mau meneruskan perjalanan..., juga nggak mungkin", lanjutku.
"Oooh..., iyaa..., Tyaas, aku baru ingat..., kira-kira 100 atau 200 meter dari gedung ini ada Hotel, gimana kalau kita ke sana?, Yang penting Tyas bisa telepon ke rumah, mengeringkan baju dan kita bisa istirahat sebentar menunggu sampai suasana menjadi agak sepi, lalu baru kita pulang ke Bekasi", kataku.
Tyas tidak segera menjawab dan kelihatan sedikit ragu.
"Ayooo..., deh Maas..., kita ke sana", katanya tiba-tiba, "Benar juga kata Mas, saya pingin memberitahu suamiku kalau saya masih selamat dan nggak apa-apa".
Setelah kukunci pintu mobilku, lalu kami berjalan keluar gedung dan masuk di sela orang-orang yang hiruk-pikuk di jalanan dan sampai di depan Hotel tanpa hambatan yang berarti. Tetapi ketika kuajak masuk ke lobi Hotel, tiba-tiba Tyas berhenti dan melihat ke arahku. Aku mengerti dengan keragu-raguannya dan segera kubilang, "Tyas..., jangan takut, kita bisa pesan 2 kamar. Ayooo.. laah", kataku lanjut sambil menggandeng tangannya masuk ke dalam lobi Hotel. Ketika kupesan 2 kamar kepada receptionisnya, ternyata yang tersisa hanya 1 kamar VIP sedangkan kamar lainnya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang baru masuk seperti Bapak, kata receptionisnya. Kulihat Tyas sambil akan kuminta pendapatnya, tetapi belum sempat pertanyaanku keluar, Tyas segera menyahut, "Ok deh Mbak..., kita ambil", katanya pada receptionisnya sambil segera merogoh tasnya mungkin mau mengambil uang atau credit cardnya, tapi tangan Tyas segera kupegang dan kukatakan, "Biar saya saja".
Setelah administrasinya kuselesaikan dan diberi kunci dan ditunjukkan arah kamarnya, kami langsung menuju kamar yang ditunjukkan. Setelah kunci pintu kamar kubuka, Tyas yang kupersilakan masuk ke kamar terlebih dahulu, ternyata tidak segera masuk dan aku mengetahui keragu-raguan di wajahnya dan sambil kupegang pundaknya lalu kukatakan, "Tyaas..., jangan takut..., saya tidak akan mengganggumu", dan mendengar kataku ini Tyas langsung memelukku serta mencium pipiku sambil berkata, "Terima kasih Maas, saya nggak takut..., kok".
Setelah masuk ke kamar yang cukup luas dengan tempat tidur nomor 1, segera Tyas menuju tempat telepon dan memencet angka-angkanya.
"Maas, ini Tyas..., Tyas sedang di tempat kost-kostan temanku dekat kantor", katanya sambil melihat ke arahku dan meletakkan jari telunjuknya di bibirnya dan terus menceritakan aksi-aksi demonstran tadi.
"Mungkin aku akan nginap di sini sampai semuanya aman dan mudah-mudahan besok pagi aku bisa pulang, lanjut Tyas di telepon.
Setelah Tyas selesai dengan phonenya lalu dia mengacungkan gagang phone padaku, "Maas..., apa Mas nggak phone ke istri dulu agar supaya dia nggak was-was?", kata Tyas. Benar juga kata Tyas dalam pikiranku, lalu kuambil gagang telepon dari tangan Tyas dan kuputar nomor rumahku.
"Maa..., ini aku..., aku nggak bisa pulang malam ini dan sekarang aku ada di rumah salah satu teman kantor yang rumahnya nggak jauh dari kantor. Mudah-mudahan demonya selesai malam ini dan besok pagi bisa pulang", kataku sambil meletakkan gagang telepon di tempatnya.
Kami saling bertatapan dan hampir secara serentak kami berseru dan saling menunjuk, "Naah..., belajar bohong yaa?", sambil terus ketawa bersama.
"Maas..., aku mau mandi duluan yaa?", kata Tyas sambil berjalan ke arah kamar mandi, tetapi kemudian berhenti dan berbalik menengok ke arahku.
"Maas..., kalau saya mandi nanti..., tolong panggilkan room boy-nya dong, agar mereka mencuci baju kita super kilat dan bisa kita pakai lagi segera".
"Iyaa..., tuan putri..., perintah dilaksanakan...", kataku bergurau.
Tyas segera masuk ke kamar mandi tetapi selang beberapa saat dia keluar lagi hanya mengenakan lilitan handuk di badannya sambil meletakkan bajunya yang telah digulung-gulung di lantai serta sambil mengacungkan sebuah handuk lain kepadaku.
"Niiih Maas..., ganti deh bajunya dengan handuk ini..., hingga room boy-nya bisa mencuci baju-baju kita.
Setelah selesai berkata dan tanpa menunggu jawabanku, Tyas segera masuk lagi ke kamar mandi serta menguncinya dari dalam. Aku jadi sangat terperangah melihat keberanian Tyas tadi yang hanya mengenakan lilitan handuk dan melihat belahan dadanya sedikit tersembul di balik handuk yang menutup dadanya serta pahanya yang kecil, putih serta mulus itu, tidak terasa membuat nafsuku naik dan penisku menjadi berdiri tegang. Setelah kubuka baju dan celanaku serta kubungkus badanku dengan handuk yang diberikan Tyas, segera kuisi formulir laundry, tetapi karena aku tidak tahu pakaian Tyas apa saja yang akan dicuci, terpaksa pakaian Tyas yang digulungnya tadi segera kubuka satu-satu. Ternyata selain baju dan roknya, di dalam gulungan itu terdapat BH kira-kira ukuran 32 dan Celana dalam merah muda yang sangat tipis. Melihat BH dan CD ini, perasaanku menjadi terangsang, dan sebelum kumasukkan ke dalam laundry bag, kuciumi CD-nya beberapa saat dan tercium aroma vagina yang khas. Setelah itu baru kupanggil room boy untuk mengambil pakaian-pakaian kotor dengan pesan agar diantar kembali secepat mungkin dan paling lambat besok pagi.
Kudengar kunci kamar mandi dibuka dan muncul Tyas dengan rambut yang masih basah dan wajah yang terlihat segar dan bertambah manis serta badannya terlilit dengan handuknya dan kembali membuat mataku sedikit terbelalak melihatnya karena belahan payudaranya serta pahanya yang putih mulus itu.
"Maas..., ngelihatnya kok begitu amat sih?, iiihh..., menakutkan sekali?, kata Tyas sambil berjalan menuju kaca.
"Maas..., sekarang gantian deh, Maas yang mandi..., dan nanti kupesankan makan, mau makan apa Maas", lanjutnya lagi.
"Makan apa..., yaa?, sahutku seakan bertanya, "Makan Tyas..., aja deh", lanjutku sambil berjalan menuju kamar mandi.
"Haah..., makan apa Maas", sahut Tyas sambil membelalakkan matanya dan mencubit tanganku ketika aku melewatinya.
"aah..., maaf Tyas,aku salah ngomong..., maksudku makan seperti yang Tyas pesan saja", jawabku sambil ketawa dan terus masuk kamar mandi.
Setelah selesai mandi, kulihat makanan sudah siap di meja sofa yang ada di kamar dan kami terus makan dengan hanya memakai lilitan handuk di badan. Sesekali kulirik paha Tyas yang selama makan di tumpangkan ke paha satunya, dengan harapan siapa tahu Tyas mengubah posisi duduknya dan melihat bagian dalam paha yang aku yakin tidak memakai CD karena semua pakaiannya sedang di cuci, tapi harapanku tidak pernah terwujud sampai makan selesai.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar