Aku bekerja di perusahaan keuangan Jln. Jendral Sudirman, Jakarta. Posisiku lumayan bagus. Usia 30 tahun, dengan tinggi badan 175 cm dan berat 69 kg. Pengalaman ini terjadi seminggu yang lalu.
Waktu itu baru jam 7 malam. Aku sudah mau pulang karena ada janji dengan teman di Cinere. Ketika lewat front office kulihat Fafa sedang berbenah mau pulang juga. Ketika kutanya ternyata dia mau ke kawannya di Lebak Bulus. Jadi satu jalan. Kebetulan Fafa tidak bawa mobil sendiri. Kutawari untuk pulang bareng dan Fafa oke. Daripada kehujanan, katanya. Lumayan ada teman ngobrol di jalan.
Dalam bekerja Fafa masuk dalam supervisiku. Kuakui dia sangat cantik. Berdarah Arab (Yaman kata dia), langsing, tinggi sekitar 165-170 cm dan kulitnya putih. Rambutnya berombak agak pirang (asli, bukan karena dicat) dan bibirnya sangat sensual.
"Dingin Fa?", tanyaku ketika sampai di sekitar Blok A.
Memang kurasakan mobilku dingin sekali AC-nya. Padahal sudah kusetel minimal. Mungkin karena hujan meskipun tidak deras. Dan penyakit di selatan Jakarta, kalau hujan macetnya minta ampun. Jam sudah menunjukkan pukul 8.15.
"Iya Pak. Dingin banget", katanya sambil mendekap tangannya ke dada.
"Kalau di luar gini jangan panggil Pak. Nama saja", kataku.
"Ya Pak".
Hujan makin deras. Jalanan makin macet. Jam 9 kami masih berkutat di Blok A.
"Aku laper Fa".
"Sama. Aku juga dari tadi".
Kami tertawa bareng. Perut kosong, badan menggigil. Bayangin. Kami ngobrol apa saja tentang kantor, teman-temannya, keluarga sampai keinginannya untuk dapat cowok non arab.
Kulirik Fafa sedang menggosok-gosok tangan kanannya ke hand rem. Mungkin biar hangat. Dengan tangan kiri kupegang tangannya.
"Tanganmu dingin banget".
"Dari tadi".
"Aku juga kan?".
"He eh", sahutnya tanpa mencoba melepas tangannya dari remasanku. Hujan tetap lebat. Praktis mobilku berhenti seperti yang lain. Macet.
Dalam diam saya remas-remas tangannya. Fafa diam saja. Bahkan juga mulai ikut meremas.
"Lumayan. Agak hangat", kataku.
"He eh", jawabnya sambil senyum.
Kulirik Fafa memakai rok mini. Paha putihnya kelihatan meskipun agak gelap. Kubawa tanganku ke pahanya. Fafa juga diam. Dilepaskan tangannya agar tanganku leluasa meraba pahanya. Halus, haluus sekali pahanya. Kuusap-usap naik turun. Perlahan tapi pasti aku mulai menyentuh celana dalamnya. Dari ujung dengkul, dengan gerak mengambang kuusap sampai menyentuh celana dalamnya. Berulang-ulang, Hmm..., lenguhnya.
"Makin hangat Fa", bisikku.
Fafa diam saja. Kulirik dia memejamkan matanya. Tangannya memegang tanganku di diusap-usapkan ke celana dalamnya. Kini Fafa yang mengendalikan tanganku. Kurasakan mulai basah.
Tanpa sadar kulihat sudah lewat Golden Trully. Kutarik tangan Fafa, kubawa ke penisku yang sejak tadi menegang tapi masih rapi tertutup celanaku. Fafa mengerti. Dia remas-remas penisku. Lama kami saling mengelus, mengusap dan meremas barang maing-masing. Aku juga merasa sudah mulai basah.
Kami sudah sampai perempatan Lebak Bulus. Arah Cinere masih macet. Kanan arah Pondok Indah kosong. Jam sudah jam 11.
"Aku laper", bisikku di telinga sambil menjilat belakang telinganya.
"Cepet mampir. Bisa pingsan aku. Laparrr...", bisiknya.
Fafa tetap memejamkan matanya. Tanganku terus aktif bergerilya. Perlahan kutarik pelan rambut vaginanya dari arah samping celana dalamnya. Fafa terus melenguh. Pahanya makin panas. Tangannya makin aktif mengelus-elus penisku dari luar.
Aku ambil kanan. Lalu menyusuri jalur paling kiri. Sementara kegiatan dihentikan. Sekarang cari makan. Kulihat bangunan berpagar bambu gelap. Jalannya turun. Mungkin hotel. Kita bisa makan.
"Kiri ya?, Mungkin kita bisa makan di resto-nya", bisikku.
"Itu restoran?", tanya Fafa.
"Nggak tahu. Kalo resto ya syukur, kalau hotel kita bisa makan di restonya", jawabku sejujurnya. Sejujurnya, waktu itu aku belum tahu sama sekali tempat itu.
Aku belok kiri. Lalu ada orang berlari-lari memakai payung menyambut dan memberi kode untuk mengikutinya. Dia menunjuk sutau tempat seperti garasi dan mempersilakan mobilku masuk garasi itu. Aku masuk. Lalu pintu garasi ditutup. Aku memandang bingung ke arah Fafa. Dia mengangkat bahunya tanda bingung atau tidak tahu juga. Aku lalu turun. Fafa masih di dalam. Kuikuti petugas yang masuk pintu di garasi. Ternyata kamar tidur. Sebuah spring bed besar di tengah. Dua tempat duduk dan satu meja kaca. Dindingnya tertempel kaca besar. Kamar mandi ada di dalam tapi pakai shower.
Ooo.., Ternyata ini hotel atau motel garasi yang diceritakan teman-temanku. Setelah membayar kamar dan pesanan makanan, petugas keluar. Aku mengikuti.
"Turun yuk", kataku kepada Fafa.
Fafa turun. Kugandeng dia masuk kamar. Lalu kukunci. Fafa tertegun. Aku lalu berdiri di depannya. Memandangnya. Fafa lalu memandangku. Agak lama. Entah bagaimana kami lalu saling menubruk. Kucium fafa sampai terengah-engah. Kujilati bibirnya sambil berdiri. Lidahku meliuk-liuk di dalam mulutnya. Fafa tak kalah garang. Dia memelukku erat-erat dan membalas ciuman buasku. Tangan kiriku menyusup ke blusnya. Tangan kanan menyususp ke celana dalam bagian belakang mengusap-usap pantatnya. Kuciumi Fafa dengan buas. Bibir sensualnya kulumat habis. Lidahku meliuk-liuk dalam mulutnya dan disambut dengan kelincahan lidahnya. Lalu turun ke leher. Kujilati lehernya. Fafa memejamkan matanya terus menikmati rangsanganku. Tangannya terus mengusap-usap penisku yang masih rapi dalam sarangnya.
Pintu diketuk dari luar. Otomatis kami menghentikan aktifitas yang menggairahkan ini.
"Aku ke kamar mandi dulu", bisiknya, aku mengangguk.
Makanan kutarik di meja. Kutuang coca-cola dalam gelas yang telah berisi es. Kuteguk. Hmm..., segar. Kudengar suara shower di kamar mandi. Rupanya Fafa mandi. Pantas lama. Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi.
Gila!, Gila!, Belum pernah kulihat pemandangan seindah dan seeksotik ini. Menggairahkan, menakjubkan. Aku bengong, terpana, terpesona.
Kamar mandi remang. Hanya cahaya lampu 5 watt yang menerangi. Fafa sedang mandi di bawah pancuran shower. Lekuk-lekuk tubuhnya sangat sempurna. Putih dan mulus tubuhnya yang tersiram air bagai di gambar-gambar playboy. Tinggi, kakinya panjang dan jenjang, pinggangnya kecil, tapi pinggulnya cukup besar. Sangat sempurna. Fafa sedang menggosok lehernya dengan sabun sambil memejamkan matanya.
"Tolong matikan AC kamar. Agar nggak kedinginan kalau keluar", katanya.
Aku terjaga dari lamunanku. Cepat aku keluar. Memang dingin sekali. AC tidak kumatikan tapi kusetel menjadi 35. Biar hangat. Lalu aku ke kamar mandi.
"Jangan bengong. Mandi sekalian.", katanya waktu aku bengong lagi, aku segera melepas dan celanaku.
Airnya hangat. Pantas Fafa berlama-lama setelah kedinginan di mobil tadi. Setelah badanku basah tersiram air, Fafa menyabuni seluruh tubuhku dengan pelan dan lembut. Mula-mula tanganku, lalu dada dan perut. Disuruhnya aku berbalik dan kemudian punggungku. Fafa jongkok. Disabuninya kakiku, lalu naik ke paha. Aku memejamkan mata. Kurasakan seluruh elusan dan usapan tangan lembutnya ke seluruh tubuhnya. Akhirnya Fafa memegang penisku dan dielusnya pelan-pelan. Licin dengan sabun, kemudian ditarik dan lepaskan tangannya dari penisku.
Kini giliranku. Kuambil sabun dari tangan Fafa. Mula-mula kuusap kedua tangannya. Lalu perutnya. Naik, kedua dadanya kusabuni dengan lembut. Kenyal. Putingnya mencuat ke atas. Tangan kiriku ke dada kanan dan tangan kananku ke dada kirinya. Berulang-ulang. Fafa memejamkan matanya sambil mendesah. Aku lalu jongkok. Kuusap kaki dan betis indahnya. Pelan. Kunikmati keindahan ini. Lalu naik ke pahanya. Agak direnggangkan agar tanganku bisa menyusup ke celah pahanya. Lalu naik sampai akhirnya kusabun rambut-rambut vaginanya. Agak lama kuusap vaginanya.
"Sudah.sudah..", lenguhnya.
Aku berdiri. Kupeluk Fafa. Licin tapi nikmat. Tubuh kami bersatu. Kuciumi mulutnya sampai Fafa terengah-engah. Tubuh kami terus bergerak mencari kenikmatan. Tanganku mengusap pantat, paha dan kedua dadanya. Tangan Fafa juga terus menggerayangi tubuhku. Dari usapan di punggung, pantat dan akhirnya bermuara ke penisku. Dikocok-kocoknya penisku. Aku merasa nikmat. Belum pernah kualami pengalaman sedahsyat ini.
Fafa mundur dan bersandar di dinding. Kaki direnggangkan. Tangannya terus memegang penisku. Sabun makin cair tapi masih tetap licin. Perlahan mulai kutusukkan penisku ke vagina Fafa. Fafa mengerti. Direnggangkan lagi kakinya. Dibimbingnya penisku ke vaginanya. Dan ahh..., aku mulai masuk. Mula-mula perlahan. Makin lama makin cepat. Tangan Fafa memeluk kedua pantatku ikut menekan. Nikmat sekali. Badan masih licin. Terus kuayun pantatku dan penisku menghujani vagina Fafa berulang-ulang.
Tak lama, Fafa tak tahan lagi. Dipeluknya aku erat-erat. Fafa telah sampai duluan. Penisku makin kencang menancap. Kuayun lagi pelan. Makin lama makin cepat.
"Ah..., ah..., terus Pak..., terus...", lenguhnya. Pinggulnya terus bergerak mengimbangi tusukanku. Kami terus berpelukan erat sekali. Mulutnya terus kucium. Bibir sensualnya terlalu sayang untuk dilewatkan.
Kucabut penisku. Kuhadapkan Fafa ke dinding. Aku ingin doggy style. Fafa lalu nungging. Pantatnya masih licin oleh sabun. Kuusap-usap. Jari tengahku mulai memainkan vaginanya. Fafa melenguh. Kumainkan klitorisnya. Kuusap, kupelintir, kusodok. Fafa makin menggelinjang. "Sekarang..., sekarang...", desahnya.
Dipegangnya penisku. Dan dibimbingnya masuk ke dalam vaginanya. Aku memejamkan mata. Kutusukkan pelan penisku. Kucondongkan badanku, bersatu dengan punggungnya. Licin. Enak sekali. Tanganku meraih kedua dadanya. Kuusap-usap. Licin nikmat sekali. Berulang-ulang sambil menusuk penisku ke vagina Fafa. Aku lalu menegakkan badanku. Kupegang sisi pinggulnya. Aku mulai mempercepat ayunan. Fafa menggoyang-goyang pinggulnya. Aku tarik, Fafa juga ikut menarik pinggulnya. Aku tusuk sekuatnya, Fafa pun mengimbanginya. "Clep..., clep..., clep".
Akhirnya aku mau keluar. Gerakan makin kupercepat. Jeritan Fafa makin keras.
"Di dalam atau di luar Fa..", bisikku sambil terengah-engah.
"Di luar saja", sahutnya.
Fafa tetap nungging. Pinggulnya makin liar. Aku makin tak tahan. Dan..., kucabut penisku dari lubang kemaluan Fafa.
"Sekarang Fa..", kataku sambil memejamkan mata.
Fafa balik badan lalu jongkok dan mengocok penisku. "Ahh..., "cret..., cret..., cret", maniku muncrat ke wajah dan badan Fafa. Banyak sekali. Fafa terus meremas penisku sampai tetesan terakhir maniku.
Oleh: adimas@17tahun.com |
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar