Selamat malam, kata Sri Lestari, sepulang kami ke hotel, dan berpisah di koridor lantai 6, setelah sebelumnya rombongan kami makan malam bersama.
Saat itu Tari, staf public relations group perhotelan besar di Asia Pacific itu menjadi host kami, para wartawan pariwisata, meninjau hotel baru milik jaringannya di Manado.
Malam sudah menunjuk pukul 11.45. Besok siang kami ke Makassar. Makanya aku segara tidur. Kubiarkan TV menyala sebagai pengantar tidur. Tiba-tiba telepon berdering. Ternyata Tari. "Sebentar deh ke kamarku. Penting", katanya.
Kami memang sudah agak lama kenal, karena aku sering diundang oleh gadis chinese berambut sebahu ini. Kamarnya di sebelahku. Aku segera berganti jeans, dan ke kamarnya.
Saat itu Tari memakai kimono satin putih. "Temenin aku ya. Aku takut. Biasanya kalo nganter wartawan aku kan berdua dengan teman sekantor. Kali ini sendirian, jadinya ya takut".
Aku jengah juga. "Kamu nggak enak ya? Gini deh. Kamu tidur di sofa, aku di bed. Please...", katanya.
Aku sudah mengantuk. Segera aku membaringkan diri di sofa. Tari menyodorkan selimut.
"Aku mau mandi berendam dulu, biar tidurku gampang", katanya.
"Terserah", kataku.
Kudengar dia menyanyi di kamar mandi, sambil menunggu bathtub penuh. Setelah itu pintu tertutup. Aku bangun, melepas jeans-ku, aku gantungin di lemari, lalu berbaring dan berselimut, cuma memakai CD dan kaos dalam berlengan. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang menutupi hidungku. Aku gelagapan tidak bisa bernafas. Aku terbangun. Agak gelap pandanganku. Sekian detik kemudian aku sadar. Tari sudah membungkuk di mukaku, dengan jatuhan kain kimono di wajahku, dan rambutnya menutupi kepala dan wajahku.
"Aku nggak bisa tidur", bisiknya.
Aku bangun, duduk di sofa. Ternyata TV masih nyala. Video hotel memutar film hot, soft porn.
Tari menyingkirkan selimutku. Dia tidak bicara apapun selain berdiri di depanku dan meraih kepalaku. Naluriku mulai bicara. Aku tahu dia sedang birahi. Puting dari balik kimono satin putih itu tampak mengeras. Aku raba, makin terasa.
Aku raih gelas berisi air putih di meja kecil sebelah sofa, lalu aku minum supaya bau mulut sehabis tidur itu hilang. Setelah itu aku berdiri, memeluknya, menciumi pipinya, lalu bibirnya dengan lembut, kupingnya, lehernya, tengkuknya. Tari amoy cantik berumur 35 itu mulai merintih.
Aku pepetkan penisku yang masih terbungkus CD ke selangkangannya dan aku gosokkan naik turun. Terdengar bunyi keletek-keletek dari pinggulnya. Itu pertanda birahi perempuan mulai meninggi.
Selama percumbuan kami tidak bicara. Dia hanya memejamkan mata seolah minta diantar menuju tangga kenikmatan birahi. Akhirnya tali kain pengikat kimono itu pun lepas.
Wow!, Kulihat tubuh putih kencang seorang Sri Lestari yang putih mulus. Payudara mungil 32-nya kencang dan indah, dengan puting coklat tua. Aneh juga, amoy putih kok putingnya gelap. Aku sibak kimono itu sehingga sebelah bahu mulusnya terbuka. Aku ciumi bahunya, aku pegang lembut payudanya..., Tari mendesah.
Akhirnya kimono satin itu terhempas ke karpet. Wow!, Indah nian. Celana dalam hitam berukuran mini itu membuatnya tampak semakin seksi. Tapi aku masih bersabar.
Aku menciumi ketiaknya yang bersih dan licin, yang sepertinya belum pernah ditumbuhi bulu itu, sambil memainkan puting dan payudaranya. Dia cuma, "Ah.., uh.., ah.., uh". Apalagi setelah buah dada itu aku ciumi, jilatin, kecup, dan jelajahi. Dia terpejam terus.
Akhirnya aku duduk lagi di sofa, dia tetap berdiri. Aku ciumi pusarnya. Dia merintih dan melenguh. Akhirnya hidungku sampai pada CD-nya. Kucium aroma khas wanita terangsang. Jariku meraba bagian bawah celananya, basah. Aku masukkan jariku ke celananya lewat samping. Kurasakan bulu yang tebal. Kuraba labia majora yang menggembung, lalu clitorisnya yang mulai mengeras. "Auwwww!", dia berteriak tertahan.
Akhirnya aku tidak sabar. Aku perolotkan CD-nya. Wow, aneh sekali. Amoy cantik yang ketiaknya licin selah tak pernah ditumbuhi bulu itu ternyata vaginanya berbulu lebat! Panjangnya sekitar 5-6 cm, tebal pula, dan tidak terlalu keriting. Padahal selama ini di internet, amoy-amoy itu berbulu vagina tipis.
Aku naikkan sebelah kakinya ke sofa. Aku berlutut. Wow!, vagina Sri Lestari ternyata tidak seperti cewek Jepang dan Chinese di BF dan internet yang cenderung kemerahan itu. Vagina Tari coklat tua menggelap. Clitorisnya, ya ampun, sebesar kacang mete. Labianya gelap. Setelah aku sibak, dinding vaginanya ternyata merah tua kegelapan. Kontras dengan kulitnya yang putih.
Aku cium lembut labianya. "Auhh...", desahnya. Aku sibak labia itu dengan jari, lidahku menyosor ke liang. "Ihhssss", desisnya. Lalu lidahku menggarap clitorisnya. Dia berkelonjotan, tidak kuat berdiri, dan terduduk di sofa.
Aku terus menyerbu, mengangkangkan kedua kakinya tinggi-tinggi, lalu mengoral vagina superhebat itu dengan mulut, lidah, dan hidungku. Kurasakan cairan asin memasuki mulutku. Dia banjir. Makanya aku seruput sekalian vaginanya, sambil satu tanganku meremas payudaranya yang mungil. Dia menjerit kecil.
Aku makin nakal. Aku tusukkan jari telunjukku ke vaginanya. Maju mundur, berputar. Dia berkelonjotan. Cairannya membanjir. Lalu jari tengahku menemani jari telunjuk, menggarap liang vaginanya. Kubengkokkan ke atas kedua jariku, sehingga menyentuh G-Spotnya. Dia menjerit kecil.
Aduh, aku sudah tidak tahan. Aku lepas kaosku. Lalu aku berdiri, dan aku lepas CD-ku. Tuing!, Penis besarkupun teracunglah di depan wajahnya. Tari tanggap. Dia pegang lembut penis Jawaku yang coklat tua kehitaman itu, lalu dia gosokkan ke ketiaknya. Geli dan nikmat. Lalu digosokkan ke putingnya yang kehitaman itu. Makin nikmat. Kalau misalnya payudaranya 38, pasti penisku dia jepit di celah hangat di antara dua bukit. Tapi berhubung payudaranya kecil, ya cukup di bukit kecil itu, lalu ke ketiak licinnya lagi.
Ahh..., gila! Maniku keluar barang dua tetes, bening, di ketiaknya. Dia tersenyum. Lalu dia gesekkan ujung penisku ke hidungnya, bibirnya, berkali-kali. Aku tidak tahan. Keluar lagi dua tetes, bening.
Kejam juga amoy yang njawani ini. Dibuatnya maniku bocor sedikit-sedikit. Akhirnya dia kocok penisku.
"Jangan Tari nanti muncrat, kamu kan belum dapet apa-apa".
Dia senyum lalu, "Slap!", penisku masuk ke mulutnya. Aku tidak tahan, takut kalau segera keluar mani. Makanya aku cabut penisku dari mulutnya.
Tari berdiri, menyeretku ke ranjang, dan langsung duduk menunggangi wajahku. Vagina berjembut tebal itu digosokkan ke mukaku, sampai aku kehabisan nafas, dan tersengal karena cairan vaginanya membanjir tanpa henti.
Pintar juga PuRel ini. Dia bisa mengejar birahi sambil mengistirahatkan penisku. Akhirnya diapun klimaks, klimaks, dan klimaks. "Aku!", cuma itu teriakannya, lalu menelungkup di atas tubuhku, dengan posisi serong, sehingga posisi tubuh kami seperti huruf T. Dalam ruang sejuk ber-AC itu dia tampak basah kuyup oleh keringat. Rambutnya agak acak-acakan. Tampaklah kecantikan alami sekaligus kejalangan seorang wanita karier smart yang selama ini tampil tegas dan tidak murahan.
Aku ambil handuk dari kamar mandi, aku keringkan keringatnya dan rambutnya yang basah. Aku ambilkan dia Coke dari kulkas. Aneh juga, kami tak banyak bicara dalam percumbuan ini.
Setelah keringat kering, begitu juga vaginanya yang aku keringkan dengan kimononya, diapun telentang di ranjang. Aku hampiri Tari, aku kangkangkan kakinya. Aku serang lagi vaginanya dengan mulut. Tapi cuma sebentar, dia berontak. Mengangkat kepalaku, lalu kedua kakinya menjepit bahuku, dan dengan cepat akupun terguling di sampingnya. Setelah itu menyergapku, menindihku, sambil memegang penisku.
Terlalu!, Penisku tidak langsung dia masukkan ke vaginanya, tapi dipakai buat mainan, seperti onani, di labia dan clitorisnya. Oh rupanya ini cara untuk memanggil cairan vagina agar keluar dari liangnya. Setelah itu, "Sleppp", penisku pun masuk.
Di atas tubuhku dia terus bergerak. Kadang merapatkan tubuh kepadaku, sehingga aku bisa menciumi kupingnya. Kadang mengangkat badan, sehingga tanganku bisa meremas payudara kecilnya. Alangkah indahnya pemandangan itu. Matanya terpejam-pejam, payudara mungilnya bisa bergoyang-goyang, dengan puting yang berwarna gelap, sementara keringat membasahi tubuhnya. Ketika dia menyibakkan rambutnya yang acak-acakan dan basah, cahaya lampu ranjang menyorot ketiak licin yang mengkilap oleh keringat. Indahnya!
Akhirnya dia seperti kecapean. Aktivitasnya berkurang. Cuma menindihku rapat dan menekan penisku dengan vaginanya, lalu pinggulnya berputar pelan sekali.
Kemudian dia raih tangan kananku, dia ambil jari tengahku, dia kulum jari itu, lalu dituntunnya ke pantatnya. Ternyata jariku dimasukkan ke duburnya. Sempit juga, susah masuknya. Dia cabut jariku yang baru masuk 1/2 cm itu, lalu dia gosokkan ke sekitar vaginanya yang basah oleh cairan, lantas dimasukkan lagi ke anus.
Saat jariku masuk ke dubur itulah Sri Lestari jadi beringas lagi. Dia memutar-mutar pinggulnya, naik turun, sampai penisku serasa mau patah, dan akhirnya..., tubuh itu mengejang, putarannya berhenti, tapi terus menekan dan menindihku makin kuat, dan sampailah dia pada titik akhir perjalanan menuju puncak.
Dari tadi dia tidak banyak bicara. Ketika orgasme total menjemput dirinya, Tari pun seperti berteriak, "Memekku! Itilku!". Kemudian tindihan dan tekanan terhadap tubuhku pun melemah. Aku usap rambutnya, aku cium keningnya yang basah oleh keringat, dan aku katakan, "Terima kasih Sri Lestari amoyku. Inilah pembauran paling indah dalam hidupku...".
Dia tersenyum, mencubit hidungku, menjewer kupingku, lalu turun dari tubuhku. Tapi penisku masih tegang. Birahiku masih tertahan di dalam. Lantas akupun berlutut di sampingnya, mengocok penisku. Tari seperti menikmati live show.
Tanpa banyak bicara dia tahu keinginanku. Dengan kepala bertumpu pada bantal, dia angkat lengannya sehingga ketiak licin bersih tanpa bulu itu pun terentang, sementara tangan satunya memainkan payudara mini dan puting coklat tuanya. Indah dan merangsang.
Setelah itu dia bikin atraksi, menjilati ketiaknya! Ketiak yang basah oleh keringat dan air iur itu semakin mengkilap. Akhirnya pada menit ketiga aku tidak tahan.
"Tari aku mau keluar...", kataku sambil memutar badan agar spermaku tak mengenai tubuhnya. Biar kena sprei saja mauku.
Kejutan terjadi pada momen yang tepat. Ketika sepersekian detik lagi mani mau muncrat, Tari menyambar penisku, kemudian mulutnya langsung menyosor. Begitu bibirnya terkatup, saat itulah maniku muncrat.
Tari tampak buas. Mani kentalku tak tertampung oleh mulut mungilnya, sehingga menerobos keluar, berceceran dari bibirnya. Sudah begitu tangannya terus mengocok penisku. Akhirya habis sudah maniku sampai tetes terakhir. Semuanya tertuang di mulut, bibir, pipi, alis, dan dahi amoy Sri Lestari.
Ah indahnya! Sebuah percumbuan tanpa banyak bicara, tapi komunikasi antar nafsu terus berjalan. Paginya aku membeli dua bar coklat Swiss di hotel, aku minta dibungkus sebagai bingkisan, dan aku berikan padanya. Dia tahu, itu ucapan terima kasihku. Satu batang coklat berwarna coklat tua kehitaman, satunya batang yang berwarna putih susu. Itulah simbol pembauran kami melalui birahi yang indah.
Dalam perjalan di pesawat, Tari bersikap biasa saja. Begitu juga dalam trip selanjutya, hingga kami kembali ke Jakarta. Pada hari-hari berikutnya kami tidak kencan. Setiap kali konfrensi pers Tari bersikap biasa, seolah tidak pernah ada apa-apa di antara kami. Aneh juga ya. Tapi biarin ajalah. Yang pasti setiap kali melihat dia berdiri, berjalan, atau presentasi, dengan rok mini ketat dan jas hitam, serta stocking hitam, aku langsung membayangkan apa saja yang ada di balik semua penutup itu, maka akupun jadi ereksi.
TAMAT
Oleh: artseni@yahoo.com |
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar